Thursday, April 3, 2014

Ilmu, Petukangan, dan Standar Kompetensi

oleh: Putu Pendit
Rekan-rekan,

Izinkan saya berargumentasi memperjelas posisi-posisi pandangan saya tentang Kepustakawanan Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan profesionalisme, agar tak menimbulkan debat kusir. Walau sudah sering saya utarakan, tetap ada risiko posisi-posisi itu disalah mengerti, sehingga adalah tugas saya untuk terus menjelaskan; dengan risiko baru : Anda semua menjadi bosan. Silakan berhenti membaca di kalimat ini, jika itu yang terjadi.

Selanjutnya, bagi yang tetap ingin membaca, silakan.

Titik awal dari argumentasi saya adalah kata ILMU yang tercantum di berbagai jurusan dan program studi di Indonesia, termasuk di dua jurusan tertua (di Jakarta dan di Bandung). Mengapa ada kata ILMU di situ? Jelas karena para pendiri dan pengelolanya ingin menyatakan kepada masyarakat, bahwa para lulusan jurusan-jurusan itu nantinya adalah SARJANA lengkap dengan ijazah yang menyatakan hal itu, dan yang akan dijinjing oleh si sarjana sebagai semacam ‘merek dagang’ untuk mencari kerja. Seorang SARJANA yang menjinjing ijazah dari jurusan yang mengajarkan ILMU inilah yang kemudian menjadi orang profesional, dan dalam kasus kita orang tersebut diberi julukan PUSTAKAWAN.

Dengan pikiran sederhana seperti di ataslah, maka Kepustakawanan Indonesia menyatakan bahwa “seorang pustakawan adalah seorang sarjana ilmu perpustakaan”. Inilah landasan paling pokok dari sebuah argumentasi paling sederhana dan jernih tentang ‘jati diri’ seseorang yang kita sebut PUSTAKAWAN. Ini pula yang kita jadikan sebuah upaya memonopoli profesi Kepustakawanan agar tak sembarang orang bisa mengaku PUSTAKAWAN.

Apakah monopoli ini sah? Tentu saja sah!

Mengapa sah, karena di dalam upaya monopoli tersebut terdapat pertanggungjawaban kepada masyarakat dan bangsa. Kita sebenarnya memonopoli profesi ini karena kita takut tak bisa mempertanggungjawabkan kualitas kerja dan sumbangsih Pustakawan kepada masyarakat dan bangsa. Jika semua orang yang berminat diperbolehkan mengaku Pustakawan dan bekerja sebagai Pustakawan, siapa yang akan mempertanggungjawabkan kualitas kerjanya?

Sekaligus pula, kita berupaya memonopoli profesi ini karena ingin menegaskan batas-batas (boundaries) Pustakawan di dalam dunia kerja untuk MENJAMIN (sekali lagi, menjamin!) lapangan kerja bagi lulusan-lulusan jurusan ILMU perpustakaan. Dengan kata lain, kita menggunakan kata ILMU agar dapat menegaskan kesarjanaan lulusan dan batas-batas profesionalisme, sehingga dari situ kita bisa memonopoli profesi ini dengan tujuan agar :

1. Masyarakat dan bangsa punya patokan kualitas Pustakawan.
2. Para lulusan punya kepastian kerja.

Perhatikanlah bahwa butir satu di atas amat berkaitan dengan apa yang sedang kita perbincangkan sebelumnya, yakni KOMPETENSI dan standar kompetensi.Haruslah saya jelaskan secara agak cermat di sini, bahwa kompetensi yang kita bicarakan dalam konteks ILMU dan SARJANA ini agak sedikit berbeda dari pengertian kompetensi yang biasa dipakai untuk Competency Based Training(CBT) dalam konteks pelatihan dan keterampilan kerja (vocational training and education) yang pada umumnya diselenggarakan untuk menghasilkan tenaga-tenaga terampil siap kerja. Bolehlah disebut mereka yang mendapat pendidikan vokasi ini adalah tukang, dan tak jemu saya harus katakan bahwa ‘tukang’ adalah gelar juga, yang harus dihormati juga sesuai keterampilannnya.

Apa bedanya kompetensi di dua konteks tersebut?

Perbedaannya terletak pada klaim awal kita di atas, yaitu bahwa Pustakawan adalah seorang SARJANA dan karenanya mendapat pendidikan ILMU rata-rata empat tahun. Dengan kata lain, Pustakawan bukanlah lulusan sekolah-sekolah pelatihan (training) apalagi kursus 6 bulan (kebangetaaaan.. dueeh!!).

Dari pemikiran ini pulalah muncul argumentasi berikutnya, yaitu PUSTAKAWAN bukan tukang dan Kepustakawanan bukan pertukangan. Argumentasi ini amat sederhana, masuk akal, dan jernih. Argumentasi ini pula yang dapat dijadikan basis dari apa yang disebut ‘Entry Point Competency’ bagi seorang Pustakawan, yaitu bahwa dia seorang SARJANA ILMU PERPUSTAKAAN. Tanpa ‘entry point‘ itu, tak ada kompetensi yang bisa diukurkan kepadanya. Tanpa ‘entry point‘ itu tak bisa kita menyusun standar kompetensi profesi Pustakawan. Sekali lagi harus diingat, kompetensi di dalam pengertian ini bukan (sekali lagi bukan!) kompetensi sebagaimana yang diajarkan dalam pelatihan vokasi untuk menghasilkan tukang seperti yang saya uraikan di atas. Pendek kata, “entry point competency” seorang Pustakawan adalah Kesarjanaannya, sedangkan kesarjanaannya ditentukan oleh penguasaannya atas Ilmu Perpustakaan.

Kalau kita sudah sepakat untuk berpegangan pada hal ini, maka persoalan berikutnya yang amat mendasar dan amat strategis adalah penegasan bahwa ILMU PERPUSTAKAAN memang sebuah ILMU. Tentu saja hal ini mendasar dan strategis karena, cobalah baca baik-baik dari atas sampai alinea terakhir di atas alinea ini. Keseluruhan pondasi kita untuk mengklaim bahwa Pustakawan adalah seorang profesional terletak di satu kata bertuah ini: I L M U.

Apakah benar kita sudah punya ILMU PERPUSTAKAAN? Apakah sudah benar jurusan-jurusan itu mengajarkan ILMU PERPUSTAKAAN? Apakah sudah ada kesepakatan di antara jurusan-jurusan itu tentang ILMU PERPUSTAKAAN? Apakah sudah terbentuk metodologi dan mekanisme penelitian yang berbasis ILMU PERPUSTAKAAN? Apakah sudah jelas ukuran penguasaan sarjana ILMU PERPUSTAKAAN? Apakah dosen-dosennya sudah benar memahami ILMU PERPUSTAKAAN?

Cobalah berpikir sedikit jernih, tenang, dan jangan ‘sensi’ – bukankah pertanyaan-pertanyaan itu yang sering diajukan oleh masyarakat, khususnya masyarakat perguruan tinggi dan masyarakat pemerintahan di Indonesia? Bolak-balik orang bertanya, “Apa benar untuk menjadi Pustakawan perlu belajar ILMU PERPUSTAKAAN?”. Apa benar ada ILMU PERPUSTAKAAN?Tanpa kemampuan menjawab pertanyaan tersebut secara tuntas dan gamblang, maka sebenarnya yang terjadi adalah seperti sekarang ini: Masyarakat terus menerus mengabaikan pondasi dan ‘entry point‘ profesi ini, yaitu SARJANA ILMU PERPUSTAKAAN. Masyarakat sebenarnya tak percaya bahwa profesi ini ada, dan bahwa profesi ini perlu didukung ilmu. Masyarakat sembarang saja menunjuk sembarang orang untuk jadi ‘pustakawan’. Kepala-kepala perpustakaan didrop dari langit (atau dari lantai di atas lantai perpustakaan). Seorang tukang yang terampil di bidang komputer boleh saja mengaku Pustakawan Digital. Seorang sarjana akuntan yang tak disukai atasan bisa saja tiba-tiba jadi pustakawan. Seorang guru yang berkelahi dengan kepala sekolahnya bisa saja ‘diperpustakaankan’.

Dengan kata lain, kita telah gagal membuat pertanggungjawaban kualitas dan menjaga perbatasan profesi, semata-mata karena kita gagal menegaskan ILMU PERPUSTAKAAN. Nah, dalam situasi yang masih seperti ini, kita bersemangat mau membuat STANDAR KOMPETENSI. Inilah yang dengan berat hati akan saya sebut sebagai ‘nggak nyambung’ atau tu-la-lit.

Sumber :

No comments:

Post a Comment