Thursday, April 3, 2014

Perpustakaan Zaman Hindia Belanda

Sekitar awal abad ke-16 Orang Barat mulai berdatangan ke Indonesia. Yang mula-mula datang adalah orang Portugis kemudian disusulkan orang Inggris, Perancis, Denmark, Spanyol, dan kemudian orang Belanda. Tujuan utama mereka adalah mencari rempah-rempah. Namun, waktu itu di dunia barat(Eropa Barat) berdengung semboyan 3 G yaitu God, Gold, Glory artinya mereka ingin mencari emas,tanah jajahan, dan menyebarkan agama mereka. Maka,tidak mengherankan bila orang portugis di samping giat mencari rempah-rempah juga giat menyebarkan agama.terutama di Indonesia Timur. Penyebaran agama ini biasanya diikuti dengan pembangunan fisik gedung gereja.

Dalam sejarah tercatat Ordo Dominican mendirikan berbagai gereja di kepulauan Nusa Tenggara Timur sekitar awal abad ke-17. Pembangunan gereja ini selalu disertai dengan penyediaan berbagai buku keagamaan seperti Injil,Mazmur, dan buku do’a lainnya. Karena keterbatasan buku,maka buku semacam ini tidak dipinjamkan,tetapi hanya boleh dibaca digereja ataupun gedung yang berdekatan dengan gereja. Namun koleksi tersebut belum dapat disebutkan perpustakaan karena buku disusun secara sederhana orientasinya hanya untuk pengajaran, jumlahnya relative kecil, serta pemakaiannya terbatas.

Pendatang berikutnya seperti orang Denmark, Inggris, Perancis, tidak tercatat pernah mendirikan perpustakaan. Orang Spanyol pernah mendirikan gereja di Indonesia Timur, namun dalam pertarungan perebutan kekuasaan mereka kalah melawan orang Portugis sehingga mengundurkan diri ke Fillipina. Manuskrip peninggalan orang Denmark, Inggris, Perancis maupun Spanyol tidak bnyak mengungkapkan kegiatan dalam bidang perpustakaan. Hal itu karena tujuan utama mereka datang ke Indonesia hanyalah untuk berdagang. 

Berdasarkan sumber sekunder, perpustakaan yang paling awal berdiri terjadi pada masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Berdasarkan sumber Belanda, perpustakaan tertua yang didirikan Belanda adalah perpustakaan sebuah Gereja di Batavia (kini Jakarta). Perpustakaan gereja Batavia ini telah dirintis sejak tahun 1624. Karena berbagai kesulitan, maka usaha yang telah dirintis sejak itu baru diresmikan pada tanggal 27 April 1643 dengan penunjukan pendeta sebagai pustakawan bernama Ds. (dominus) Abraham Fierenius. Menurut hemat penulis,perpustakaan tersebut merupakan perpustakaan pertama yang didirikan pada zaman Hindia Belanda. Pada masa itu, perpustakaan gereja Batavia meminjamkan buku untuk perawat rumah sakit Batavia, bahkan peminjaman buku di perluas sampai ke Semarang dan Juana ( Jawa Tengah). Jadi,bahwa pada abad ke-17 Indonesia sudah mengenal perluasan jasa perpustakaan.

Lebih dari seratus tahun kemudian berdirilah perpustakaan khusus di Batavia. Pada tanggal 24 April 1778,berdirilah Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) di Batavia. Bersamaan berdirinya perpustakaan lembaga BGKW atas prakarsa Mr. J.C.M. Rademaker, ketua Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda). Ia memprakarsasi pengumpulan buku dan manuskrip untuk koleksi perpustakaan serta beruaha mencari sumbangan. Sumbangan yang besar berasal dari Raad van Indie yang menyumbang sebesar F50 (50 Gulden) setahun.Sumbangan ini berlangsung hingga tahun 1844. Perpustakaan tersebut kemudian mengeluarkan catalog buku yang pertama di Indonesia pada tahun 1846 dengan judul Bibliotecae Artiumcientiaerumaquae Batavia Floret catalogue Systematicus hasil suntingan P. Bleeker. 

Edisi kedua terbit dengan judul dalam bahasa Belanda pada tahun 1848. BGKW aktif dalam pertukaran bahan perpustakaan. Penerbitan yang digunakan sebagai bahan pertukaran adalah Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Verhandelingan van het Bataviaasch Genootschapn van Kunsten en Wetenschappen, Jaarboek serta Werken buiten de Serie. Karena prestasinya yang luar biasa dalam meningkatkan ilmu dan kebudayaan, maka namanya ditambah menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschapn van Kunsten en Wetenschappen. Nama lembaga ini berubah pada tahu 1950 menjadi Lembaga Kebudajaan Indonesia. Pada tahun 1962 Lembaga kebudajaan Indonesia diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia.

Namanya pun berubah menjadi Museum Pusat. Koleksi perpustakaan menjadi bagian dari museum pusat dan dikenal dengan nama Perpustakaan museum Pusat. Kemudian museum ini berubah nama menjadi museum Nasional, sedangkan perpustakaannya dikenal sebagai Perpustakaan Museum Nasional. Pada tahun 1980 perpustakaan Museum Nasional dilebur kepusat pembinaan perpustakaan. Perubahan lagi terjadi pada tahun 1989 tatkala pusat pembinaan perpustakaan dilebur sebagai bagian dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Sesudah pembangunan perpustakaan BGKW, berdirilah perpustakaan khusus lainnya seiring dengan berdirinya berbagai lembaga penelitian maupun lembaga penelitian maupun lembaga pemerintahan lainnya. Contoh pembangunan Bibliotheek’s Lands Plantentuin te Buiten zorg pada tahun 1842. Pada tahun 1911 namanya berubah menjadi Central Natuurwetenschap-pelijke Bibliotheek van het Departemen van Landbouw,Nijverheid en Handel. Namanya kemudian berubah menjadi Bibliotheca Bogoriensis. Tahun 1962 kemudian berubah menjadi pusat perpustakaan Biologi dan Pertanian. Kini namanya menjadi perpustakaan Pusat Pertanian dan Komunikasi Penelitian.

Perkembangan perkebunan terutama didorong oleh politik Tanam Paksa yang memerlukan hasil perkebunan untuk menambah devisa pemerintah Hindia Belanda. Ketika Tanam Paksa dihapus tahun 1870, dampak Tanam Paksa terasa dengan timbulnya berbagai perkebunan kopi, karet, kina, dan kelapa sawit di Pulau Jawa dan Madura. Pasca- Tanam Paksa ditandai dengan masuknya modal asing ke Indonesia, terutama dalam bidang perkebunan. 

Sesudah Tanam paksa, pemerintah Hindia Belanda menjalankan politik etis untuk membalas “utang” kepada rakyat Indonesia. Salah satu kegiatan politik etis adalah pembangunan sekolah rakyat. Dalam bidang perpustakaan sekolah, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Volksbibliotheek. Volksbibliotheek artinya perpustakaan yang didirikan oleh Volkslectuur (kelak berubah menjadi Balai Pustaka), sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada Volkschool. 

Pada saat itu, Volkslectuur juga menerbitkan almanac berjudul Volksalmanak berisi aneka warna masalah. Setiap tahun alamanak ini dicetak sebanyak 50.000 eksemplar. Angka ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan kenyataan bahwa sekitar tahun 1980-an, almanak dijual di Indonesia rata-rata hanya dicetak sebanyak 10.000 eksemplar atau buku ajar berkisar sekitar 3.000 eksemplar yang terjual habis dalam waktu 3-5 tahun. Sampai tahun 1940, tercatat rata-rata 140 peminjam dengan peminjaman rata-rata 800 buku.

Pada tahun 1911 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Indonesische Volksbibliotheken, maka pada tahun 1916 didirikanlah Nederlandsche Volksbibliotheken yang digabungkan dalam Holland-Inlandsche School (H.I.S). H.I.S merupakan sejenis sekolah lanjutan dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Tujuannya adalah memenuhi keperluan bacaan para guru dan murid H.I.S.

Di Batavia tercatat beberapa sekolah swasta.di antaranya sekolah milik Tiong Hoa Hwe Koan yang memiliki perpustakaan. Tercatat koleksinya pada tahun 1939 mencapai 22.707 jilid serta 4.400 jilid majalah.

Pada awal tahun 1910-an berdirilah Openbare leeszalen istilah ini artinya ruang baca terbuka atau ruang baca umum. Perpustakaan ini menyediakan bahan bacaan secara Cuma-Cuma , tidak boleh dibawa pulang serta di buka pada pagi dan sore hari. Perpustakaan ini didirikan pihak swasta, yang dominan adalah Gereja Katolik, Loge der Vrijmetselaren, Theosofische Vereeniging, dan Maatschappij tot Nut van het Algemeen.

Pada zaman Hindia Belanda juga banyak berkembang sejenis perpustakaan Komersial, di kenal dengan nama Huurbibliotheek atau Perpustakaan sewa. Perpustakaan sewa adalah perpustakaan yang menyewakan buku dengan membayar uang sewa. Menjelang pendudukan Jepang, di Indonesia sudah terdapat perpustakaan sekolah,sejenis perpustakaan umum,perpustakaan sekolah tinggi, dan perpustakaan khusus.

Sumber Referensi : 
Sulistyo-basuki. Pengantar Ilmu Perpustakaan.Jakarta: Gramedia, Pustaka Utama, 1991

No comments:

Post a Comment